Beberapa waktu lalu saya pernah tulisakan Standard Konektor Kendaraan Listrik dan juga terkait Konektor Pengisian Kendaraan Listrik lau bagaimana dengan charging newtork. Pada kali ini saya ingin membahas terkait standard charging network di Indonesia. Charging network ini sangat erat kaitannya dengan infrastruktur pengisian kendaraan listrik. Namun untuk tulisan kali ini akan fokus pada charging network untuk mobil listrik yang menggunakan konektor sesuai Permen ESDM no. 13 Tahun 2020.
Infrastruktur Kendaraan Listrik
Isu infrastruktur kendaraan listrik saat ini masih menjadi salah satu isu utama pada ekosistem kendaraan listrik. Walau sudah mulai terpecahkan dengan tersedianya SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum), namun masih banyak keraguan atas jarak tempuh kendaraan listrik. Infrastruktur kendaraan listrik dan kendaraan listrik (mobil listrik khususnya) masih menjadi “telur dan ayam”. Infrastruktur akan dibangun apabila permintaannya tinggi, mobil listrik akan dibeli dan digunkan apabila infrastrukturnya siap. PLN mulai menyediakan titik-titik SPKLU dan ada APM (Agen Pemegang Merk) yang sudah menjual mobil listrik juga menyediakan layanan charging. Namun yang jadi tantangannya adalah apakah SPKLU ini akan berkembang kedepannya?
Banyak literatur yang menuliskan bahwa 80% pengguna kendaraan listrik melakukan pengisian baterai kendaraan listriknya di rumah/tempat tinggal dan juga kantor. Hal ini karena pengisian baterai kendaraan listrik yang masih memerlukan durasi waktu yang cukup. Lalu bagaimana dengan nasib SPKLU? SPKLU akan dapat berkembang jika ekosistem kendaraan listrik terbentuk. Jika SPKLU hanya berdiri sendiri, bahkan jika masing-masing produsen membangun ekosistem kendaraan listik maka SPKLU akan menjadi sulit berkembang. Salah satu yang dapat menghidupkan ekosistem kendaraan listrik adalah standardisasi charging network kendaraan listrik.
Standardisasi charging network kendaraan listrik meliputi standar konektor dan platform sistem. Poin penting pada charging network adalah sharing resources. Harga dari charger kendaraan listrik (EV supply equipment – EVSE) terutama untuk jenis arus DC dengan kapasitas output yang besar masih mahal. Harga di pasaran yang saya tahu tidak kurang dari Rp. 500 juta per unitnya. Jika infrastruktur kendaraan listrik ini adalah hasil kolaborasi yang mana seluruh pihak menggabungkan sumberdayanya, akan sangat membantu pertumbuhan ekosisitem kendaraan listrik.
Kolaborasi Ekosistem Kendaraan Listrik dan Charging Network
Sebagai gambaran, PLN sebagai pihak yang menguasi sumber listrik dan jaringan tenaga listrik sudah dapat memberikan tarif khusus kepada penyelenggara SPKLU. Lalu SPKLU dibangun oleh pihak-pihak swasta atau negara dengan konsep transit yaitu pemberhentian yang tidak hanya untuk melakukan pengisian baterai kendaraan, tetapi juga untuk aktifitas lainnya. Konsep ini mungkin sudah terpikirkan oleh pihak-pihak yang berencana membangun SPKLU. Namun hal penting lainnya adalah bagaimana charging network ini terintergasi dalam satu platform.
Setelah saya pelajari, dengan adanya pengaturan di Permen ESDM 13 tahun 2020 tentang jenis konektor pengisian kendaraan listrik yang terbatas pada jenis type 2, CCS2 dan CHAdeMO, dapat menjadi salah satu pendorong integrasi charging network. Hal ini disebabkan pihak-pihak yang akan membangun SPKLU akan fokus pada jenis konektor sesuai standard dan pada umumnya memiliki fitur dan konfigurasi relatif yang sama. Di samping itu, EVSE yang memiliki beberapa jenis konektor harganya lebih mahal dibandingkan dengan yang memiliki satu jenis konektor. Standardisasi jenis konektor akan membantu membatasi nilai investasi untuk penyediaan SPKLU.
Charging Network Kendaraan Listrik
Amerika menjadi salah satu contoh nyata yang tidak melakukan standardisasi jenis konektor. EVSE di Amerika tersedia untuk type 1, type 2, CCS1, CCS2, CHAdeMO dan Tesla supercharger (untuk GB/T saya belum mengetahui apakah tersedia juga di Amerika) menyebabkan platform kendaraan listrik di sana sangat bervariasi. Startup juga berlomba-lomba membangun platform kendaraan listrik sehingga terdapat beberapa ekosistem kendaraan listrik. Apa dampaknya? Potensi dampak tersebesarnya adalah ekosistem seperti ini tidak dapat bertahan untuk waktu yang lama. “Pertarungan” antar platform akan terjadi untuk menjadi pemimpin di pasar. Di sisi lain ekosistem kendaraan listrik ini masih perlu tumbuh yang artinya masih perlu dana untuk pengembangan. Kita sadari bersama dana yang tersedia terbatas namun terdapat kepentingan untuk RnD (research and development) dan juga marketing, hal ini akan sangat memberatkan.
Bandingkan dengan stadardisasi charging network secara kolaborasi, di mana RnD menjadi pekerjaan bersama untuk membangun ekosistem kendaraan listrik dan pergerakan pasar dilakukan secara bersama-sama. Beban anggaran yang tersedia pun terbagi kepada pihak-pihak yang menjadi “key person” dalam elemen ekosistem kendaraan listrik. Integrasi dan standardisasi memerlukan pendekatan yang berbeda dengan konsep konglomerasi yang menguasai seluruh elemen. Dengan pendekatan kolaborasi, layaknya puzzle yang harus saling mendukung satu dengan yang lain dan tidak menjadi dominan dalam ekosistem ini.
Tahun 2022
Tahun 2022 prediksi saya akan menjadi momen besar bagi ekosistem kendaraan listrik, nantikan tulisan selanjutnya.
Sukses selalu di darat, laut dan udara.
One thought on “Standard Charging Network di Indonesia”