Sesuai dengan judulnya, Infrastruktur Charging Kendaraan Listrik di Indonesia, tulisan ini akan bercerita tentang infrastruktur tersebut. Kendaraan listrik tidak akan bisa lepas dari bagaimana “ngecasnya”? Serta masih banyak yang berfikir Indonesia belum siap dengan kendaraan listrik karena tempat untuk ngecasnya masih sedikit.
Mari kita kulik bersama tentang infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia, sebagai catatan di awal bahwa isi video ini adalah menurut pendapat pribadi saya dan hasil dari studi yang saya sendiri lakukan.
Menurut saya salah satu kesalahan tersebesar yang terjadi dalam ekosistem kendaraan listrik adalah menyamakan pengalaman pengguna (user experience) kendaraan listrik dengan kendaraan bermesin bakar (ICE – internal combustion engine). Karena menurut pengalaman pribadi, walau memiliki fungsi yang sama sebagai alat transportasi, kendaraan listrik dan kendaraaan bermesin bakar memiliki pengisian energi yang tidak bisa disamakan.
Pada kendaraan bermesin bakar, energi didapat dengan memindahkan energi primer (yaitu bahan bakar minyak-BBM) masuk ke dalam kendaraan. Selanjutnya BBM pembakaran terjadi dalam mesin sehingga menghasilkan energi gerak untuk kendaraan bisa bergerak. Karena yang prosesnya hanya memindahkan energi primer berupa BBM ke kendaraan maka prosesnya relatif cepat. Beda halnya dengan kendaraan listrik yang memindahkan energi dalam bentuk energi listrik ke dalam baterai. Proses pemindahan listrik ini yang memerlukan cukup waktu yang relatif lebih lama.
Untuk mensolusikan durasi waktu pengisian energi kendaraan listrik, sebenarnya tidak perlu membandingkannya dengan kendaraan bermesin bakar. Coba kita pikirkan kembali kapan pemakaian energi pada kendaraan. Pemakaian energi lakukan pada saat bergerak yaitu saat jalan. Pada saat mobil terparkir maka tidak ada penggunaan energi. Pertanyaannya adalah mengapa pengisian energi tidak dilakukan saat mobil terparikir? Inilah, yang menurut saya yang seharusnya menjadi dasar pemikiran penyediaan infrastruktur charging kendaraan listrik di Indonesia.
SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum)
Kita tidak bisa menggunakan logika pengisian BBM pada kendaraan bermesin bakar untuk pengisian energi kendaraan listrik. Karena kesimpulannya atas logika tersebut adalah harus tersedia SPKLU dengan charger kapasitas besar agar mempercepat durasi charging. Masalahnya adalah ketika kita bicara charger kapasitas besar adalah biaya investasi yang sangat tinggi. Info terkhir yg saya dapat untuk charger kapasitas 100 kW adalah sekitar 700 juta per unitnya.
Jika melihat dari sudut bisnis SPKLU maka tarif charging per kWh sekitar Rp. 2.466 (Permen ESDM 13/2020). Maka berapa lama akan balik modal? Dari jumlah kendaraan listrik yang charging di SPKLU juga belum menyentuh jumlah yang punya nilai ekonomis. Asumsikan saja pemakaian charger kapasitas 100 kW selama 24 jam sehari akan mendapatkan sekitar 6 juta per hari. Sehingga untuk balik modal dari biaya charger-nya saja perlu 116 hari atau sekitar 3 bulan. Biaya penyambungan listrik PLN untuk daya 105 kVA sebesar Rp 99 juta belum lagi kebebutuhan perangkat lainnya yang harus diperhitungkan investasinya. Sebagai catatan bahwa ini pemakaian chager-nya selama 24 jam non-stop sehingga gambarannya balik modalnya seolah-olah cepat. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membuat SPKLU itu bisa se-produktif itu yang menurut saya pribadi tidak mungkin. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah beberapa produsen kendaraan listrik pernah menyampaikan ke saya untuk sebaiknya tidak melakukan fast charging untuk memperpanjang usia pemakaian baterai.
Charging Point di Tempat Parkir
Opsi yang menurut saya paling tepat untuk infrastruktur charging kendaraan listrik adalah penyediaan charger (charging point) di lokasi parkir kendaraan listrik. Kapasitas charger-nya pun tidak perlu fast charging, cukup dengan kapasitas 22kW. Hal ini dikarenakan charging tersebut hanya untuk top-up kapasitas baterai kendaraan. Saat parkir di mall, di kantor, di cafe, atau di tempat makan setidaknya parkir selama 45 menit s.d. 1 jam. Jika asumsi charging 1 jam dengan charger 22kW sudah mengisi sekitar 22kWh atau 30% dari kapasistas baterai IONIQ 5 long range. Kapasitas bateri IONIQ 5 long range adalah 72,6kWH (claim jarak tempuh 451 km). Dengan demikian charging tersebut telah dapat menempuh jarak sekitar 136 km. Artinya untuk komuter dalam kota, charging 1 jam dengan charger 22 kWH berbelanja di mall, atau kongkow di kedai kopi sudah lebih dari cukup.
Perbandingan biaya investasi awal untuk penyediaan charging point 22 kW dengan anggaran yang sama sebagaimana yang sudah saya sebutkan sebelumnya untuk penyediaan SPKLU Fast Charging 100kW, yaitu 700 juta untuk biaya charger dan 99 juta untuk biaya penyambungan listrik PLN sehingga total biaya adalah sebesar 799 juta.
Dengan dana tersebut saya memilih charger 22 kW sebanyak 12 unit untuk di 6 titik lokasi yang masing-masing titik terdapat 2 unit charger. Harga chager kapasitas 22 KW dengan arus AC, hasil dari survey pada kisaran Rp 30 juta per unit. Untuk pembelian sebanyak 12 unit maka biaya pembeliannya sekitar Rp. 360 juta. Sedangkan biaya penyambungan PLN untuk 2 unit charger kapasitas 22 kW di masing-masing titik lokasi, maka perlu daya listrik sebesar 53 kVA. Biaya penyambungannya per titik lokasi menjadi 61 jutaan. Total biaya penyambungan PLN sekitar Rp. 366 juta. Sehingga total biaya yang untuk membangun 6 titik lokasi charging point yang masing-masing ada 2 unit charger sekitar Rp.726 juta.
Catatan: perbandingan di atas hanya memperhitungkan biaya pembelian charger kendaraan dan penyambungan listrik PLN
Bisnis Layanan Charging Point
Poin selanjutnya adalah bagaimana menjual layanan ini. Seperti yang saya sampaikan di awal, melakukan charging kendaraan listrik pada saat kendaraan terparkir. Sehinga jual layanan charging pun juga adalah topping dari layanan yang ada, misal topping dari parkir, topping dari paket makanan di resto/cafe, ataupun working space. Jadi yang di jual adalah layanan charging kendaraan listrik, bukan kWh-nya.
Point dari skema infrastruktur charging kendaraan listrik ini adalah memperbanyak jumlah sebaran titik lokasi charging kendaraan listrik. Serta tidak berlebihan dalam charging kendaraan listrik yang seolah-olah harus cepat dengan fast charging seperti layaknya kendaraan bermesin bakar. Lalu apakah memerlukan SPKLU fast charging? jawabannya adalah IYA juga, tetapi penempatannya hanya di lokasi-lokasi lintas kota atau propinsi yang menempuh jarak cukup panjang.
Jika ada yang sependapat atau tidak sependapat mohon tuangkan dalam komentar agar kita dapat berdiskusi.
“Sukses Selalu di Darat, Laut dan Udara”
2 thoughts on “Infrastruktur Charging Kendaraan Listrik di Indonesia”